Home »
Akidah
»
Kerusakan Akidah; Fenomena dan Pengobatannya
01.21
Diposting oleh
Unknown
sumber: http://www.suara-islam.com
Tags: Akidah
Kerusakan Akidah; Fenomena dan Pengobatannya
Oleh: Ikhwanul Wa'ie
Pertama: Kelemahan Iman
Yang dimaksud dengan kelemahan iman adalah tidak adanya gambaran tentang akhirat dan hal-hal ghaib pada diri kaum Muslim yang dapat mempengaruhi perasaan dan tingkah laku mereka. Banyak sekali nash-nash yang menunjukkan bahwa keimanan bisa bertambah, bisa berkurang dan melemah.
Allah Swt berfirman:
Dia-lah
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada). (QS. al-Fath [48]: 4)
(Yaitu)
orang-orang (yang menta`ati Allah dan Rasul), yang kepada mereka ada
orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah
Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’. (QS. Ali Imran [3]:173)
Dan
apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang
munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah
imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman,
maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (QS. at-Taubah [9]: 124)
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal. (QS. al-Anfal [8]: 2)
Rasulullah saw bersabda:
Andai ditimbang imannya Abu Bakar dan iman umat ini maka iman Abu Bakar lebih berat.
Lemahnya
iman seseorang meskipun amat parah tidak akan mengeluarkannya dari
agama Islam dan tidak dianggap sebagai kekufuran, asalkan tidak
dibarengi dengan pengingkaran kepada perkara yang qath’i yang ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah.
Iman dan i’tiqâd memiliki arti yang sama, yaitu tashdîq al-jâzim al muthâbaq li al-wâqi’ ‘an dalîlin (pembenaran yang pasti dan sesuai dengan realita serta ada dalil atasnya). Jadi, tashdîq (pembenaran) itu kadang-kadang tidak jazm (pasti).
Dengan kata lain tidak mencapai derajat yakin, contohnya adalah
berita-berita yang sampai kepada kita dari seseorang yang bersifat adil,
maka kita akan membenarkan berita yang dibawanya akan tetapi kita
tidak menempatkan orang tadi dalam membenarkan berita yang dibawanya
sampai derajat jazm (pasti). Meskipun kita
membenarkan berita darinya akan tetapi masih ada kemungkinan dusta,
keliru atau lalai (meskipun amat sedikit peluangnya), sehingga tidak
menghasilkan jazm (kepastian). Apabila tercapai jazm maka akan tercapai iman. Sebaliknya, apabila jazm tidak tercapai maka hal itu hanya tashdîq (pembenaran) biasa.
Iman secara etimologi merupakan bentuk dari kata âmana. Di dalam kamus Lisanul Arab dikatakan, âmana yang berarti watsaqa wa ithma’annâ. Apabila dikatakan mautsûqun bihi berarti ma’mûn (aman). Jika dikatakan: âmana bi asy-syai (iman dengan sesuatu) berarti shaddaqahu wa âmina kadzibu man akhbarahu (membenarkan dan aman dari dusta atas orang yang mengkhabarkannya).
Ada beberapa aliran yang mendefinisikan iman. Kalangan Khawarij berpendapat: al-îmânu huwa ath-thâ’atu
(iman adalah ketaatan). Berdasarkan definisi ini mereka mengatakan
bahwa pelaku maksiat sebagai kafir, sebagaimana mereka mengkafirkan Ali,
Utsman dan pihak-pihak yang menerima tahkim pada peperangan Shiffin. Adapun al-Karamiyyah mengatakan bahwa: al-îmanu iqrârun bi al-lisân
(iman adalah pengakuan secara lisan). Dari sini mereka beranggapan
bahwa seseorang yang menyembunyikan kekafiran tetapi secara dzahir
menampakkan keimanan adalah tetap mukmin (yang sebenarnya), meskipun dia
kekal di neraka. Dan orang yang menyembunyikan keimanannya bukanlah
seorang mukmin, akan tetapi dia kekal di surga.
Aliran Murji’ah berpendapat bahwa: al-îmânu tashdîqun wa ma’rifatun, ‘ammâ al-‘amal falâ atsara lahu muthlaqan
(iman adalah pembenaran dan pengetahuan, adapun perbuatan maka tidak
ada pengaruhnya sama sekali terhadap iman). Mereka berpendapat bahwa lâ tadhurru ma’al îmân ma’shiyatun kama lâ tanfa’u ma’al kufri thâ’atun
(suatu kemaksiatan tidak akan merusak iman sebagaimana keta’atan tidak
berguna sedikitpun bagi kekafiran). Sebagian di antara mereka amat
ekstrem dengan mengatakan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati,
meskipun menyatakan kekufuran dengan lisannya dan menyembah berhala.
Sementara Ahlul Hadits (yakni sebagian ahli sunnah wal jama’ah) mengatakan bahwa: al-îmânu ma’rifatun bil jinan wa iqrârun bil lisân wa ‘amalun bil arkân (iman itu adalah pembenaran dengan hati, pernyataan dengan lisan serta melaksanakan dengan perbuatan).
Kalangan al-‘Asy’ariyah dan Ahli Sunnah lainnya berpendapat bahwa: al-îmânu tashdîqun wa ammâ al-‘amal fahuwa min kamâlil îmân wa âtsarihi (iman adalah pembenaran, adapun amal perbuatan merupakan penyempurna iman dan pengaruhnya).
Masuknya (iqrârun bil lisân wal ‘amal bil jawârih,
yakni pembenaran dengan lisan dan pelaksanaan dengan perbuatan) dalam
definisi iman atau tidak, merupakan masalah yang harus ditinjau kembali
karena akan mengakibatkan hilangnya sifat iman pada orang yang tidak
melaksanakan konsekuensi dari keimanan, yang mungkin terjadi pada
sebagian aliran yang ada dewasa ini. Bahkan mungkin saja akan berakibat
adanya takfir (mengkafirkan) sebagian besar kaum
Muslim, karena mereka meninggalkan konsekuensi-konsekunsi keimanan,
sehingga pandangan terhadap kerusakan akidah pada kaum Muslim pun
berbeda-beda.
Disyaratkannya iqrâr dan
‘amal dalam definisi iman yang merupakan aliran Ahli Hadits telah
dikritik oleh banyak ulama akidah dan para fuqaha, seperti al-Juwaini,
Imam al-Haramain, al-Baqillani dan lain-lain. Yang dikritik mereka
adalah bahwa pada dasarnya harus digunakan definisi lughawî (secara bahasa) bagi iman selama tidak terdapat nash-nash syara’. Namun jika terdapat makna syar’iy-nya maka definisi lughawi tidak bisa digunakan.
Adapun
nash-nash syara yang menunjukkan bahwa pembenaran dengan lisan atau
perbuatan termasuk dalam definisi iman, maka nash-nash tersebut tidak
dapat berfungsi sebagai qarâin (indikasi-indikasi) yang dapat mengalihkan makna lughawi kepada makna syar’iy, karena terdapat nash-nash dan dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa iman adalah tashdîq al-qalbi (jazm) saja. Seandainya Syâri’ telah menetapkan definisi syar’iy atas iman, maka pasti terdapat nash-nash syara’ yang menunjukkan hal itu, sebagaimana halnya definisi tentang shalat.
Dalil-dalil dan qarînah-qarînah yang menyebutkan bahwa iman hanya terbatas pada tashdîq saja banyak sekali, diantaranya adalah firman Allah Swt:
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar. (QS. Yusuf [12]: 17)
Dalil
lain adalah Ijma’, yakni bahwa iman tetap ada pada orang yang
melakukan maksiat. Juga nash yang menunjukkan bahwa syara’
memerintahkan untuk beramal setelah penetapan iman, seperti firman
Allah Swt:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 183)
Syara’ juga membedakan antara iman dan amal ketika memisahkan keduanya dengan wawu ‘athaf, seperti dalam firman Allah Swt:
‘Athaf digunakan
untuk membedakan. Dalil lainnya adalah bahwa hukum-hukum syara’ yang
hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, juga ditujukan kepada
orang-orang yang fasik, seperti juga ditujukan kepada orang-orang yang
bertakwa. Ini berarti bahwa orang yang fasik dimasukkan dalam kriteria
orang-orang yang beriman, dan jika dia mati maka dikuburkan di pemakaman
kaum Muslim; dia dishalatkan, warisannya dibagi-bagikan dan lain-lain.
Selain itu, nash-nash berbagai hadits yang memasukkan iqrâr atau
amal dalam definisi iman merupakan nash-nash tasyri’iyyah (yang
mengandung hukum-hukum) bukan nash-nash ta’rifiyyah (untuk definisi
saja). Nash-nash tersebut antara lain:
Orang yang beriman itu adalah orang yang manusia merasa aman terhadapnya.
Muslim itu adalah orang yang tidak menyakiti muslim (lainnya) dengan lisan dan tangannya.
Orang
yang pailit (bangkrut) di kalangan umatku adalah orang yang datang
pada hari kiamat nanti dan dia telah mencaci orang ini….
Nash-nash
tersebut dan yang semisalnya tidak dimaksudkan untuk mendefinisikan
sesuatu tetapi lebih ditujukan untuk memberikan petunjuk dan ajakan
untuk mengerjakan suatu perbuatan tertentu. Oleh karena itu makna yang
ada di dalam nash-nash tadi dipalingkan kepada kesempurnaan iman atau
hasil-hasilnya, bukan dititik beratkan pada adanya iman. Orang-orang
Arab di dalam asâlib (gaya-gaya bahasa) yang mereka
gunakan terkadang menamakan sesuatu dengan sesuatu yang merupakan
hasil (akibat) dari suatu perkara, atau menamakan sesuatu dengan sebab
terjadinya suatu perkara. Adapun hadits:
Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkannya dengan lisan serta melaksanakan dengan amal perbuatan.
Tidak mencapai derajat hadits marfu’. Itu merupakan atsar sebagaimana telah disebutkan oleh al-Baqillaani.
Demikian
juga nash-nash yang menyatakan bahwa iman telah hilang dari orang yang
mengerjakan perbuatan tertentu, atau mensifatinya dengan kekufuran,
atau menyebutkannya sebagai jahiliyah, seperti hadits: Tidaklah akan
berzina seorang pezina ketika ia berzina sedangkan dia beriman.
Demi Allah, tidak beriman…orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.
Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka dia tidak termasuk golongan kami.
Barangsiapa yang mati dan dipundaknya tidak ada bai’at maka sungguh dia telah mati jahiliyah.
Jika merujuk kepada nash-nash sebelumnya yang membedakan antara tashdîq dan
amal serta berdasarkan pada definisi secara bahasa –yang sebenarnya-
maka makna nash-nash ini harus dipalingkan. Disamping itu nash-nash
tersebut tidak ditujukan untuk mendefinisikan esensi seorang mukmin dan
esensi iman. Nash-nash ini hanya menafikan kesempurnaan iman (kamâl al-imân) dan kebenarannya, bukan menafikan eksistensinya. Artinya, nash-nash ini hanya berupa indikasi-indikasi (qarâ’in) kearah keharaman, dan jika perbuatan itu dilakukan berakibat mendapatkan siksa.
Dengan
demikian maka kelemahan iman dan tidak tampaknya pengaruh iman
tersebut di dalam tingkah laku, tidak akan mengeluarkan seseorang dari
agama Islam, kecuali jika bercampur dengan pengingkaran kepada hal-hal
yang ma’lûmun min ad-dîn bi adh-dharûrah.
Begitu juga lemahnya iman tidak mempengaruhi pada tashdîq al-jâzim (pembenaran yang pasti) sehingga menjadikannya ghaira jâzim (pembenaran yang tidak pasti). Sebab, hakekat perkara yang qath’i akan tetap qath’i, baik
sudah tertanam di dalam benak dan mempengaruhi tingkah laku atau pun
belum hadir di dalam benak ketika melaksanakan amal perbuatan. Dalam dua
kondisi tersebut tetap saja merupakan hakekat yang qath’i dan jâzim.
Berdasarkan
hal ini tingkatan paling rendah dari lemahnya iman tetap saja dianggap
iman, dan dianggap pembenaran yang pasti. Meskipun demikian pembenaran
yang pasti saja tidak cukup untuk memperoleh ridha Allah, tetapi juga
harus menta’ati-Nya serta konsekuen melaksanakan segala perintah-Nya
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.sumber: http://www.suara-islam.com
Tags: Akidah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Share your views...
0 Respones to "Kerusakan Akidah; Fenomena dan Pengobatannya"
Posting Komentar