Home »
Akhlak
»
Berpakaian Sesuai Syariat Islam
01.40
Diposting oleh
Unknown
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing
Tags: Akhlak
Berpakaian Sesuai Syariat Islam
Oleh : Muhammad al-Fakkar
A. Pengantar
Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah
bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga
dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah
di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi
pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme
tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan
suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau
saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya
dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh
seorang isteri sementara isterinya menolak.
Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis
dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap
sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan
jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang
–apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa
depan.
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki
karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang
mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam
Islam:
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian
bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian
iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya
(bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan
nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat
dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.
Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga
berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah
ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti
cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan
manusia jatuh.
Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan
berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan
ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.
B. Pakaian Bagi Seorang Muslim
Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan
bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Jika ada di antara kalian yang
menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia
tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya." [HR. Abu
Dawud, no. 418 dan 3587].
Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar,
sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
"Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua
paha itu aurat." [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali
Raghib].
Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah
Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau
bersabda:
"Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?" [HR. Abu Dawud,
at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali
ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: "Janganlah engkau
menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih
hidup atau yang sudah mati." [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat
Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits:
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: "Rasulullah Saw
memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh
perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi
jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar,
menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam.
Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan
bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu
dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera
halus." [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan
Ahmad, CD Al-Bayan 1212].
Larangan Menyerupai Wanita
Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian
menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk
berpakaian seperti laki-laki.
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim
maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya
hidup maupun pandangan hidup.
Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia
di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di
hadapan isteri.
D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum.
Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya
dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim.
Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu
kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah)
yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah
(mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan
dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan
jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga
diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap
(bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan
tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain,
Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali
ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di
hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah
(kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat
umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya
(walaupun dianjurkan tidak telanjang).
E. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr
[24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian
tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu
anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala
seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan
tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki)
sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju
dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak
termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang
ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
"….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka,
kecuali…" (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah
perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah
anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena
illa mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat
itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut
anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat
wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:
"….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah
wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari
wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji
maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul
mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai
hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara
minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari
menyatakan "Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat
yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak
tangan." (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal
tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
"Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya
terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah
dan telapak tangannya." [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat
ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung.
Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya
syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi
hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna
kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah,
kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut
tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis
misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan
lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian
itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak
atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan
menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang
diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’
binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang
tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
"Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya
terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…" [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum
menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau
memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup
aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang
diriwayatkan Usamah:
"Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah)
di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu
tersifati tulangnya."
Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu
pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian
tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat
pada masalah itu dengan sabdanya:
"Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya."
Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh
menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika
memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di
depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan
lain-lain.
Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah
atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka
selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang
perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus
yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab
(jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain
seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun
jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh
karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang
sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr
[24]: 60).
Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan
dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu
celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh
digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk
tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk
lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat
dilihat pada pembahasan selanjutnya
Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar
rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus
menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya,
dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung’." (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala,
dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing
pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain
khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur
sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju
di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan
mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing
pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan
jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka
sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita
menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
(luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab,
Rasulullah bersabda: "Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya."
Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang
haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka
bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan
kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: "Ya Rasulullah salah
seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab", Rasulullah bersabda:
"Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya." (HR. Muslim, no 1475].
Pada Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan
Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang
disebut jilbab.
Memahami Pengertian Jilbab
Kata jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud
kata itu harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat
ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
dia berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi
menutupi tubuh dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab
Al-Muhith, jilbab bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang
menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada
di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas
kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari
dalam kitab Ash Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs.
an-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah
tsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Dari Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita
menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan
melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah,
hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan,
bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan
menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan
kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot
panjang dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu
termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan
baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause
telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause
diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan
laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika
wanita keluar rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan
menggunakan pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah),
sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: "Salah seorang
dari kami tidak mempunyai jilbab", maka Rasulullah menjawab: "Hendaklah
saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya." Artinya jika seseorang
tidak mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu
tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits
tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan
sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung
dari atas sampai bawah.
Pengertian ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat
Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang
dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke
bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash
yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian
tetapi untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila
asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya
jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas
bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini
diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar
berkata: Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat." Ummu Salamah bertanya: "Bagaimana
yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?"
Rasulullah menjawab: "Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal." Ummu
Salamah bertanya lagi: "Kalau demikian terlihat kaki mereka." Rasulullah
menjawab: "Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari
itu."
Dari sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian
misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah.
Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki),
tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur
sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos
kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’
(terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan
adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi
kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu
adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai
ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti
ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak
apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga
diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya
banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka
diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki,
sepatu dan lain-lain.
Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang
menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini
ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak.
Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin
menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan,
kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam
berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa
digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau
penampilan tertentu yang "nyentrik" atau perhiasan yang berbunyi jika
dibawa jalan.
Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga
mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan
perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di
jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk
bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti
haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
"Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu
menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang
lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang
berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga
menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna
syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata
tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa
berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada
laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah
menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah
seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
"Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok
orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina."
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
"Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah:
wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan
lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka
tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya."
Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan
arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat
dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau
berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.
Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk
dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai
dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah
mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan
memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat
Ibnu Umar: "Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya
dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan,
wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato."
Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing
Tags: Akhlak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Share your views...
0 Respones to "Berpakaian Sesuai Syariat Islam"
Posting Komentar